a





































“Idza ja-a nashrullahi wal fathu,
wara aytannas sayad khuluna fi dinillahi afwaja..”
(An-Nashr: 1-2)

(Ketika datang pertolongan Allah dan kemenangan,
dan kamu akan melihat manusia masuk ke dalam agama Allah
dengan berbondong-bondong…”.

Sejumlah data yang dikomposisikan olehDemented Vision (2007), dari sebuah observasi di Amerika Serikat tentang perkembangan jumlah pemeluk agama-agama dunia menarik untuk dicermati. Dari data observasi itu, terdapat angka-angka yang menunjukkan perbandingan pertumbuhan penganut Islam dan Kristen di dunia. Lembaga itu mencatat, pada tahun 1900, jumlah pemeluk Kristen adalah 26,9% dari total penduduk dunia, sementara pemeluk Islam hanya 12,4%. 80 tahun kemudian (1980), angka itu berubah. Penganut Kristen bertambah 3,1% menjadi 30%, dan Muslim bertambah 4,1% menjadi 16,5% dari seluruh penduduk bumi.
Pada pergantian milenium kedua, yaitu 20 tahun kemudian (2000), jumlah itu berubah lagi tapi terjadi perbedaan yang menarik. Kristen menurun 0,1% menjadi 29,9% dan Muslim naik lagi menjadi 19,2%. Pada tahun 2025, angka itu diproyeksikan akan berubah menjadi: penduduk Kristen 25% (turun 4,9%) dan Muslim akan menjadi 30% (naik pesat 10,8%) mengejar jumlah penganut Kristen. Bila diambil rata-rata, Islam bertambah pemeluknya 2,9% pertahun. Pertumbuhan ini lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah penduduk bumi sendiri yang hanya 2,3% pertahun. 17 tahun lagi dari sekarang, bila pertumbuhan Islam itu konstan, dari angka kelahiran dan yang masuk Islam di berbagai negara, berarti prediksi itu benar, Islam akan menjadi agama nomor satu terbanyak pemeluknya di dunia, menggeser Kristen menjadi kedua.
World Almanac and Book of Fact, #1 New York Times Bestseller, mencatat jumlah total umat Islam sedunia tahun 2004 adalah 1,2 milyar lebih (1.226.403.000), tahun 2007 sudah mencapai 1,5 milyar lebih (1.522.813.123 jiwa). Ini berarti, dalam 3 tahun, kaum Muslim mengalami penambahan jumlah sekitar 300 juta orang (sama dengan jumlah umat Islam yang ada di kawasan Asia Tenggara).
*
*
Fenomena di Amerika sendiri sangat menarik. Sangat tidak masuk di akal pemerintah George Bush dan tokoh-tokoh Amerika, masyarakat Amerika berbondong-bondong masuk Islam justru setelah peristiwa pemboman World Trade Center pada 11 September 2001 yang dikenal dengan 9/11 yang sangat memburukkan citra Islam itu. Pasca 9/11 adalah era pertumbuhan Islam paling cepat yang tidak pernah ada presedennya dalam sejarah Amerika. 8 juta orang Muslim yang kini ada di Amerika dan 20.000 orang Amerika masuk Islam setiap tahun setelah pemboman itu. Pernyataan syahadat masuk Islam terus terjadi di kota-kota Amerika seperti New York, Los Angeles, California, Chicago, Dallas, Texas dan yang lainnya.
Atas fakta inilah, ditambah gelombang masuk Islam di luar Amerika, seperti di Eropa dan beberapa negara lain, beberapa tokoh Amerika menyatakan kesimpulannya. The Population Reference Bureau USA Today sendiri menyimpulkan: “Moslems are the world fastest growing group.” Hillary Rodham Cinton, istri mantan Presiden Clinton seperti dikutip oleh Los Angeles Times mengatakan, “Islam is the fastest growing religion in America.” Kemudian, Geraldine Baum mengungkapkan: “Islam is the fastest growing religion in the country”(Newsday Religion Writer, Newsday). “Islam is the fastest growing religion in the United States,” kata Ari L. Goldman seperti dikutip New York Times.
Atas daya magnit Islam inilah, pada 19 April 2007, digelar sebuah konferensi di Middlebury College, Middlebury Vt. untuk mengantisipasi masa depan Islam di Amerika dengan tajuk “Is Islam a Trully American religion?” (Apakah Islam adalah Agama Amerika yang sebenarnya?) menampilkan Prof. Jane Smith yang banyak menulis buku-buku tentang Islam di Amerika. Konferensi itu sendiri merupakan seri kuliah tentang Immigrant and Religion in America. Dari konferensi itu, jelas tergambar bagaimana keterbukaan masyarakat Amerika menerima sebuah gelombang baru yang tak terelakkan yaitu Islam yang akan menjadi identitas dominan di negara super power itu.
Anomali 9/11
Peristiwa 9/11 menyimpan misteri yang tidak terduga. Pemboman itu dikutuk dunia, terlebih Amerika, sebagai biadab dan barbar buah tangan para “teroris Islam.” Setelah peristiwa itu, kaum Muslimin di Amerika terutama imigran asal Timur Tengah merasakan getahnya mengalami kondisi psiokologis yang sangat berat: dicurigai, diteror, diserang, dilecehkan dan diasosiasikan dengan teroris. Hal yang sama dialami oleh kaum Muslim di Inggris, Perancis, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya.
Pemerintah George Walker Bush segera mengetatkan aturan imigrasi dan mengawasi kaum imigran Muslim secara berlebihan. Siaran televisi Fox News Channel, dalam acara mingguan “In Focus” menggelar diskusi dengan mengundang enam orang nara sumber, bertemakan ”Stop All Muslim Immigration to Protect America and Economy.” Acara ini menggambarkan kekhawatiran Amerika tidak hanya dalam masalah terorisme tetapi juga ekonomi dimana pengaruh para pengusaha Arab dan Timur Tengah mulai dominan dan mengendalikan ekonomi Amerika.
Tapi, rupanya Islam berkembang dengan caranya sendiri. Islam mematahkan “logika akal sehat” manusia modern. Bagaimana mungkin sekelompok orang nekat berbuat biadab membunuh banyak orang tidak berdosa dengan mengatasnamakan agama, tetapi tidak lama setelah peristiwa itu, justru ribuan orang berbondong-bondong menyatakan diri masuk agama tersebut dan menemukan kedamaian didalamnya? 9/11 telah berfungsi menjadi ikon yang memproduksi arus sejarah yang tidak logis dan mengherankan. Selain 20.000 orang Amerika masuk Islam setiap tahun setelah peristiwa itu, ribuan yang lain dari negara-negara non Amerika (Eropa, Cina, Korea, Jepang dst) juga mengambil keputusan yang sama masuk Islam. Bagaimana arus ini bisa dijelaskan? Sejauh saya ketahui, jawabannya “tidak ada” dalam teori-teori gerakan sosial karena fenomena ini sebuah anomali. Maka, gejala ini hanya bisa dijelaskan oleh “teori tangan Tuhan.”
Tangan Tuhan dalam bentuk blessing in disguise adalah nyata dibalik peristiwa 9/11 dan ini diakui oleh masyarakat Islam Amerika. Karena peristiwa 9/11 yang sangat mengerikan itu dituduhkan kepada Islam, berbagai lapisan masyarakat Amerika justru kemudian terundang kuriositasnya untuk mengetahui Islam lebih jauh. Sebagian karena murni semata-mata ingin mengetahui saja, sebagian lagi mempelajari dengan sebuah pertanyaan dibenaknya: “bagaimana mungkin dalam zaman modern dan beradab ini agama “mengajarkan” teror, kekerasan dan suicide bombing dengan ratusan korban tidak berdosa?” Tapi keduanya berbasis pada hal yang sama: ignorance of Islam (ketidaktahuan sama sekali tentang Islam). Sebelumnya, sumber pengetahuan masyarakat Barat (Amerika dan Eropa) tentang Islam hanya satu yaitu media yang menggambarkan Islam tidak lain kecuali stereotip-stereotip buruk seperti teroris, uncivilized, kejam terhadap perempuan dan sejenisnya.
Seperti disaksikan Eric, seorang Muslim pemain cricket warga Texas, setelah peristiwa 9/11, masyarakat Amerika menjadi ingin tahu Islam, mereka kemudian ramai-ramai membeli dan membaca Al-Qur’an setiap hari, membaca biografi Muhammad dan buku-buku Islam untuk mengetahui isinya. Hasilnya, dari membaca sumbernya langsung, mereka menjadi tahu ajaran Islam yang sesungguhnya. Ketimbang bertambahnya kebencian, yang terjadi malah sebaliknya. Menemukan keagungan serta keindahan ajaran agama yang satu ini. Keagungan ajaran Islam ini bertemu pada saatnya yang tepat dengan kegersangan, kegelisahan dan kekeringan spritual masyarakat Amerika yang sekuler selama ini. Karena itu, Islam justru menjadi jawaban bagi proses pencarian spiritual mereka selama ini. Islam menjadi melting point atas kebekuan spiritual yang selama ini dialami masyarakat Amerika. Inilah pemicu terjadinya Islamisasi Amerika yang mengherankan para pengamat sosial dan politik. Inilah tangan Tuhan dibalik peristiwa /9/11.
Motivasi Menjadi Muslim
Dari banyak wawancara yang dilakukan televisi Amerika, Eropa maupun Timur Tengah terhadap mereka yang masuk Islam atau video-video blog yang banyak menjelaskan motivasi para new converters ini masuk Islam, menggambarkan konfigurasi latar belakang yang beragam.
Pertama, karena kehidupan mereka yang sebelumnya sekuler, tidak terarah, tidak punya tujuan, hidup hanya money, music and fun. Pola hidup itu menciptakan kegersangan dan kegelisahan jiwa. Mereka merasakan kekacauan hidup, tidak seperti pada orang-orang Muslim yang mereka kenal. Dalam hingar bingar dunia modern dan fasilitas materi yang melimpah banyak dari mereka yang merasakan kehampaan dan ketidakbahagiaan. Ketika menemukan Islam dari membaca Al-Qur’an, dari buku atau kehidupan teman Muslimnya yang sehari-harinya taat beragama, dengan mudah saja mereka masuk Islam.
Kedua, merasakan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan yang tidak pernah dirasakannya dalam agama sebelumnya yaitu Kristen. Dalam Islam mereka merasakan hubungan dengan Tuhan itu langsung dan dekat. Beberapa orang Kristen taat bahkan mereka sebagaichurch priest mengaku seperti itu ketika diwawancarai televisi. Allison dari North Caroline dan Barbara Cartabuka, seorang diantara 6,5 juta orang Amerika yang masuk Islam pasca 9/11, seperti diberitakan oleh Veronica De La Cruz dalam CNN Headline News, Allison mengaku“Islam is much more about peace.” Sedangkan Barbara tidak pernah merasakan kedamaian selama menganut Katolik Roma seperti kini dirasakannya setelah menjadi Muslim.
Demikian juga yang dirasakan oleh Mr. Idris Taufik, mantan pendeta Katolik di London, ketika diwawancara televisi Al-Jazira. Mantan pendeta ini melihat dan merasakan ketenangan batin dalam Islam yang tidak pernah dirasakan sebelumnya ketika ia menjadi mendeta di London. Ia masuk Islam setelah melancong ke Mesir. Ia kaget melihat orang-orang Islam tidak seperti yang diberitakan di televisi-televisi Barat. Ia mengaku, sebelumnya hanya mengetahui Islam dari media. Ia sering meneteskan air mata ketika menyaksikan kaum Muslim shalat dan kini ia merasakan kebahagiaan setelah menjadi Muslim di London.
*
*
Ketiga, menemukan kebenaran yang dicarinya. Beberapa konverter mengakui konsep-konsep ajaran Islam lebih rasional atau lebih masuk akal seperti tentang keesaan Tuhan, kemurnian kitab suci, kebangkitan (resurrection) dan penghapusan dosa (salvation)ketimbang dalam Kristen. Banyak dari masyarakat Amerika memandang Kristen sebagai agama yang konservatif dalam doktrin-doktrinnya. Eric seorang pemain Cricket di Texas, kota kelahiran George Bush, berkesimpulan seperti itu dan memilih Islam. Sebagai pemain cricket Muslim, ia sering shalat di pinggir lapang. Di Kristen, katanya, sembahyang harus selalu ke Gereja.
Seorang konverter lain memberikan kesaksiannya yang bangga menjadi Muslim. Ia menjelaskan telah berpuluh tahun menganut Katolik Roma dan Kristen Evangelik. Dia mengaku menemukan kelemahan-kelemahan doktrin Kristen setelah menyaksikan debat terbuka tentang “Is Jesus God?” (Apakah Yesus itu Tuhan?) antara Ahmad Deedat, seorang tokoh Islam dari Afrika Selatan dan seorang teolog Kristen. Argumen-argumen Dedaat dalam diskusi menurutnya jauh lebih jelas, kuat dan memuaskan ketimbang teolog Kristen itu. Menariknya, misi awalnya ia menonton debat agama itu justru untuk mengetahui Islam karena ia bertekad akan menyebarkan gospel ke masyarakat-masyarakat Muslim. Yang terjadi sebaliknya, ia malah menemukan keunggulan doktrin Islam dalam berbagai aspeknya dibandingkan Kristen. Angela Collin, seorang artis California yang terkenal karena filmnya Leguna Beach dan kini menjadi Director of Islamic School, ketika diwawancarai oleh televisi NBC News megapa ia masuk Islam, ia mengungkapkan: “I was seeking the truth and I’ve found it in Islam. Now I have this belief and I love this belief,” katanya bangga.
*
*
Keempat, banyak kaum perempuan Amerika Muslim berkesimpulan ternyata Islam sangat melindungi dan menghargai perempuan. Dengan kata lain, perempuan dalam Islam dimuliakan dan posisinya sangat dihormati. Walaupun mereka tidak setuju dengan poligami, mereka melihat posisi perempuan sangat dihormati dalam Islam daripada dalam peradaban Barat modern. Seorang convert perempuan Amerika bernama Tania, merasa hidupnya kacau dan tidak terarah jutsru dalam kebebasannya di Amerika. Ia bisa melakukan apa saja yang dia mau untuk kesenangan, tapi ia rasakan malah merugikan dan merendahkan perempuan. Setelah mempelajari Islam, awalnya merasa minder. Setelah tahu bagaimana Islam memperlakukan perempuan, ia malah berkata “women in Islam is so honored. This is a nice religion not for people like me!” katanya. Dia masuk Islam setelah mempelajarinya beberapa bulan dari teman Muslimnya.
Perkembangan Islam di dunia Barat sesungguhnya lebih prospektif karena mereka terbiasa berfikir terbuka. Dalam keluarga Amerika, pemilihan agama dilakukan secara bebas dan independen. Banyak orang tua mendukung anaknya menjadi Muslim selama itu adalah pilihan bebasnya dan independen. Mereka mudah saja masuk Islam ketika menemukan kebenaran disitu. Angela Collin menjadi Muslim dengan dukungan kedua orang tua. Ketika diwawancarai televisi NBC, orang tuanya justru merasa bangga karena Angela adalah seorang“independent person.” Nancy seorang remaja 15 tahun, masuk Islam setelah bergaul dekat temannya keluarga Pakistan dan keluarganya tidak mempermasalahkan walaupun telah lama hidup dalam tradisi Kristen.
Dampak Hubungan Islam – Barat
Perkembangan ini tentu akan berpengaruh signifikan terhadap hubungan Islam-Barat (Kristen) yang sudah mengalami ketegangan historis berabad-abad. Dengan pesatnya perkembangan umat Muslim di Amerika, Eropa dan negara-negara maju lainnya, akan berpengaruh signifikan terhadap beberapa hal. Pertama, masyarakat Barat akan lebih dekat dan lebih kenal dengan Islam melalui umat Islam yang ada di Barat sendiri. Mereka akan menjembatani kesalahafahaman yang selalu terjadi terhadap Islam dan kaum Muslimin. Ketidaksukaan masyarakat Barat terhadap Islam lebih karena the ignorance of Islamdan ini akan semakin berkurang. Umat Islam di Barat akan menjadi komunikator yang efektif dan duta-duta yang handal untuk menjelaskan dan memperlihatkan wajah Islam yang sesungguhnya di sana.
Melalui mereka, nasib umat Islam diluar Barat akan disuarakan dan penderitaan demi penderitaan negara-negara Muslim akibat dominasi Barat yang kebijakannya sering yang tidak adil akan berkurang. Kedua, akibat dari ajaran Islam yang semakin tersosialisasi di Barat dan suara politik kaum Muslimin semakin kuat, jembatan untuk terciptanya saling pemahaman dan pengertian akan semakin kondusif dan menguat. Islam dan Barat mudah-mudahan akan masuk ke dalam sebuah equilibrium sejarah baru yang lebih adil, lebih fair dan lebih demokratis: “Ketika datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu akan melihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong!”. Wallahu a’alam!!
Penulis, Dosen UIN SGD Bandung, alumni Southeast Asian Studies, ANU Canberra.

Islam di Amerika: Sebuah Keajaiban Bernama 9/11

REPUBLIKA, Kamis, 29 Oktober 2009

Nikolaos van Dam
(Duta Besar Belanda untuk Indonesia)
Banyak orang Barat belum pernah menapakkan kaki di negeri Arab atau dunia Islam tetapi
mereka mendapat kesan tentang Islam dan Muslim melalui media masa saja, atau melalui
hubungan langsung dengan berbagai macam kelompok pendatang Muslim yang tinggal di
negeri mereka. Sebagai contoh kelompok  pendatang Muslim Maroko di Belanda, pendatang
Muslim Aljazair di Perancis, pendatang Muslim Pakistan dan India di Inggris, dan pendatang
Muslim Turki di Jerman. Atau mereka mendapatkan pengetahuan tentang Islam melalui
kejadian-kejadian ekstrem seperti serangan teroris tanggal 11 September di Amerika Serikat,
atau kejadian-kejadian di tempat lain. Pengalaman dan kesan dari kejadian-kejadian tersebut
sering mengarah pada negatif dibanding positif. Dan sering kali bukanlah Islam yang
dipahami, tetapi lebih pada perilaku Muslim yang dibiaskan sebagai gambaran Islam karena
mereka bertindak “atas nama Islam” tetapi sesungguhnya mereka sama sekali tidak mewakili  
mayoritas Muslim.
Pandangan Islam di kalangan  masyarakat umum di Eropa, atau Barat pada umumnya,
sekarang ini lebih sering dibentuk oleh peristiwa yang terjadi di dekat rumah atau tetangga,
dibanding dengan perkembangan negara-negara Muslim yang nun jauh di sana. Di Eropa
pandangan terhadap Muslim dan Islam pada masa lalu sangat dipengaruhi oleh pemikiran
lekat yang disarikan dari konflik para penguasa Kristen dan Islam di abad pertengahan. Tetapi
situasi hari ini di Barat telah berkembang jauh dan sangat berbeda. Meskipun beberapa
pemikiran-pemikiran tradisional yang kaku dan bias masih timbul akan tetapi banyak elemenelemen baru yang bermain di dalamnya. Konflik baru telah banyak bermunculan, walaupun
mereka tidak ada hubungannya dengan Islam, akan tetapi pantulan kuatnya mengacu ke
hubungan Barat dan dunia Islam dan Muslim secara umum.
Tentu, penjajahan negara-negara Barat terhadap Timur Tengah dan wilayah negara lain telah
meninggalkan jejak di antara masyarakat bangsa bekas penjajahannya. Sejauh keprihatinan pasca periode penjajahan, konflik Arab-Israel adalah faktor yang teramat penting yang
mempengaruhi hubungan. Pada awalnya konflik ini hanyalah semacam nasionalisme tentang
perselisihan tanah Palestina. Namun demikian, dalam perkembangan waktu hal ini
mendapatkan dimensi-dimensi lain secara gamblang yakni konflik antara Yahudi dan Muslim
bukan sebaliknya hanya antara Arab dan Yahudi Israel. Pendudukan Israel dan aneksasi
Jerusalem telah menambah dimensi agama masuk kedalam konflik juga. Dukungan kuat Barat
secara terus menerus terhadap Israel, dan sikap Barat yang sering dilihat Arab dan Muslim
sebagai kebijakan standar ganda terhadap Timur Tengah telah mengakibatkan permusuhan di
dunia Islam dan Arab terhadap Barat. Masalah ini, aslinya adalah permusuhan nasionalisme,
namun kemudian ditambah oleh dimensi lain yang meluas menjadi permusuhan Muslim
melawan Barat, yang akhirnya memunculkan banyaknya operasi teroris dan kekerasan lainnya
oleh organisasi seperti al-Qa’idah, Taliban dan sebagainya. Campur tangan Barat di negaranegara Islam seperti Irak dan Afghanistan, dan pula kehadiran Barat di jantung wilayah
Muslim semenanjung Arab menambah peran dalam memunculkan kebencian dan konflik ini.  
Sekarang ini terdapat elemen baru yaitu kuatnya keberadaan imigran Muslim di Eropa dengan
latar belakang budaya yang sangat berbeda. Keberadaan mereka amat sangat mempengaruhi
pendapat orang Eropa terhadap Islam dan Muslim pada umumnya. Banyak para imigran ini
datang dari pelosok desa miskin atau bahkan termiskin di negara mereka sehingga mereka
hanya berpendidikan rendah daripada negara di mana mereka berimigrasi. Sering mereka juga
tidak mempunyai posisi bersaing dalam hal ekonomi. Meskipun perlu dicatat bahwa ada
beberapa pengusaha-pengusaha yang berhasil di antara anak keturunan mereka. Di Belanda
rata-rata pengangguran imigran Maroko adalah sangat tinggi dibanding dengan kelompok
imigran lainnya dan ini sebanding lurus dengan tingkat kriminalitas mereka. Karena alasan
tersebut mereka memicu perilaku negatif dalam sektor kehidupan tertentu yang dicap oleh
penduduk asli Belanda, dan secara tidak langsung juga terhadap Islam.  
Di tahun-tahun terakhir ini, Islam secara meningkat telah menjadi subyek perdebatan di
Eropa: serangan teroris Muslim pada target-target di Amerika Serikat, London dan Spanyol,
tekanan kepada remaja puteri untuk memakai jilbab, penggalangan pemuda untuk jihad
internasional, penemuan buku-buku pelarangan homoseksual di masjid-masjid tertentu,
kesetaraan pria dan wanita, pembiaran terselubung kekerasan rumah tangga dan kriminalitas
yang diatasnamakan ajaran agama Islam. Pada tahun 2004, sutradara film Belanda Theo van Gogh dibunuh. Ekstremis pembunuh
Muslim meninggalkan sebuah catatan yang menyebutkan dialah yang membunuhnya karena
van Gogh secara terbuka mengkritik Islam. Hal ini membawa perubahan di Belanda:para
politisi dan para pengikut lainnya dalam debat umum diancam dan bahkan secara sporadis
muncul kejadian-kejadian seperti serangan ke masjid, gereja dan sekolah-sekolah. Fenomena
ini lalu menimbulkan pertanyaan apakah Islam dalam bentuknya seperti sekarang ini adalah
selaras dengan nilai-nilai inti demokrasi dan praktek kehidupan di Belanda. Digabungkan
dengan keprihatinan masalah integrasi seperti penguasaan Bahasa Belanda yang tetap rendah,
pernikahan antar etnis yang rendah di mana lebih dari 70 persen pemuda Turki dan Maroko
menikah dengan pasangan asli dari negara mereka, angka putus sekolah yang tinggi, dan
buruknya lulusan sekolah di antara populasi Muslim, semua masalah ini telah memantik
panasnya kehidupan sosial dan diskusi di parlemen.
Meskipun Pemerintah Belanda dan organisasi masyarakat sipil berusaha dengan sungguhsungguh untuk menerapkan kebijakan integrasi, tetapi satu hal masih tetap problematis yaitu
ancaman pemisahan antara Muslim dan non-Muslim. Ancaman ini semakin dibakar oleh
fundamentalis Muslim yang mengambil keuntungan dari ketidakpuasan di antara imigran
generasi kedua dan ketiga yang sangat lamban berintegrasi. Para fundamentalis Muslim tidak
ingin menjadi bagian dari bentuk masyarakat seperti sekarang ini, tetapi lebih menempatkan
diri mereka di luar dari itu dan bahkan menolak standar demokrasi dan aturan hukum Belanda
yang berlaku. Namun beruntungnya, kelompok semacam ini hanyalah pinggiran dan
kebanyakan Belanda Maroko atau Maroko Belanda dan orang dari kelompok etnis yang lain
tentu menerima nilai-nilai Belanda. Tetapi sebagaimana kita ketahui bersama bahwa individu
dan kelompok pinggiran dapat menyebabkan banyak kerusakan.
Akhirnya, ada beberapa partai politik di Eropa yang mempermainkan tema Islam dan
kekerasan. Sebenarnya posisi mereka tidak berhubungan dengan Islam, tetapi lebih kepada
perasaan tidak senang terhadap para imigran dari negara-negara Muslim dan tingkah polah
dari sebagian mereka.
Umumnya, diskusi tentang Islam hanya berpatok pada fenomena yang nampak atau simbolsimbol. Jarang terjadi diskusi yang benar-benar memperbincangkan prinsip-prinsip agama itu
sendiri. Sebagai contoh diskusi mengenai wanita memakai jilbab di kehidupan umum.
Masalah ini dijadikan alat oleh oposisi di Eropa karena hal itu dipandang sebagai simbol antiintegrasi dan membatasi kebebasan wanita. Topik lain dalam Islam yang juga menarik perhatian dan selalu menjadi konotasi negatif di Barat adalah munculnya peraturan-peraturan
Syariah seperti potong leher, potong tangan, lempar batu sampai mati atau cambuk, poligami
di mana pria diizinkan menikah sampai empat istri, menikahi gadis dibawah umur, jihad
kekerasan, masalah mendapatkan 60 perawan atau lebih di Surga setelah seorang pria menjadi
syahid selama operasi jihad, dan fenomena-fenomena lain yang tidak semestinya Islam tetapi
sering digambarkan sebagai Islam seperti khitan anak perempuan yang juga sangat umum di
sebagian negara-negara non-Islam di Afrika, pembunuhan kehormatan, pembiaran kekerasan
dalam rumah tangga yang bahkan terjadi lebih kuat di negara-negara non-Muslim di manapun
di dunia ini seperti Amerika Selatan dan lain-lain.  
Ketika praktek-praktek semacam itu dipropagandakan di sebagian dunia Islam tertentu,
bahkan jika sebagian wilayah tersebut adalah pengecualian, maka pendapat umum Barat
pastilah negatif terhadap bagian dunia Islam tersebut di mana praktek semacam itu tidak
diikuti atau bahkan malah mereka tolak. Sebagai contoh, Qanun Jinayah di Aceh yang
memungkinkan penzina dihukum mati (rajam) akan berakibat negatif terhadap gambaran
positif Indonesia di luar negeri sebagai negara yang moderat, bahkan jika semua propinsipropinsi lain di Indonesia menolak penerapan hukum ini.  
Hal ini perlu ditekankan bahwa apa yang dipertimbangkan normal dan bisa diterima di masa
lalu belum tentu bisa diterima dalam standar kehidupan abad ke-21 ini. Sering hal ini juga
tidak bisa diterima oleh mayoritas Muslim, dan beberapa dari mereka memang mengkritik
pendapat yang telah usang ini. Akan tetapi hal semacam ini, sayangnya, tidaklah selalu
dipandang secara jelas oleh Barat. Sehingga sangatlah bermanfaat apabila suara dan
pandangan Muslim moderat lebih diresonansi secara jelas dan kencang yang akhirnya mereka
bisa berdaya saing dengan suara-suara radikal yang sekarang ini membiaskan Islam dan
semoga suara moderat bisa mengoreksi bias Islam yang sekarang ini telah membumi di
sebagian benak Barat dan sebagian dunia lain. Selaras dengan hal ini tentu akan lebih
bermanfaat apabila masyarakat Barat juga mendengarkan secara seksama, tidak sekedar
meringankan, terhadap suara-suara ini.
Dr. Nikolaos van Dam adalah Duta Besar Belanda di Jakarta dan mantan Dubes di Jerman, Turki, Mesir, dan Irak. Banyak
menghabiskan masa akademik dan karier diplomatiknya di dunia Arab  yang juga meliputi Libya, Lebanon, Yordan, dan
wilayah pendudukan Palestina. Artikel ini adalah bagian dari ceramah yang disampaikan di Bimasena (Masyarakat
Tambang dan Energi) di Jakarta pada tanggal 8 Oktober 2009.  

Islam dalam Pandangan Barat

About Us